This nice Blogger theme is compatible with various major web browsers. You can put a little personal info or a welcome message of your blog here. Go to "Edit HTML" tab to change this text.
RSS

Sabtu, 31 Mei 2008

BLT Bukan Solusi

Kenaikan harga minyak dunia tak pelak menjadi pemicu masalah di berbagai Negara termasuk Indonesia. Dengan kata lain, untuk kesekian kalinya Negara di bawah pemerintahan SBY-JK menaikkan harga bahan bakar minyak sekitar 20 % sebagai konsekwensi akan kenaikan harga minya dunia. Dan hal ini tentulah akan menjadikan masyarakat semakin bertambah terpuruk dalam lembah masalah.

Sudah bukan rahasia lagi jika harga minyak naik, maka harga-harga barak lainnya akan turut naik pula. Dan yang akan merasakan dampak terhebat dari kenaikan ini dalah masyarakt teptnya mereka yang hidup di bawah standar kemiskinan. Kalo sebelum harganaik saja mereka susah untuk untuk mendaptkan sesuap nasi, bagaimana jika harga naik???

Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pemerintah lalu mengeluarkan kebijakan baru melalui sebuah program BLT atau Bantuan Langsung Tunai. Program ini berupa pemberian uang sebesar 100.000, rupiah bagi setiap keluarga yang terdaftar sebagi masyarakat miskin di negara ini dalam tiap bulannya. Sayangnya, program ini justru dirasakan sebagai bentuk keputu asan pemerintahan dalam menanggulangi kemiskinan.

Ingat dengan perkataan bijak yang mengatakan: “ Janganlah kamu memberikan ikan kepada mereka, tapi ajari mereka cara menangkap ikan. Karena hal itu akan lebih bermanfaat bagi mereka nantinya”

Apa yang dilakukan pemerintah jelas-jelas bertolak belakang dengan perkataan diatas. Memberikan uang kepada masyarakat bukanlah suatu hal yang membanggakan ataupun menolong, tetapi justru sebuah langkah kemunduran. Samapai kapan pemerintah akan mensuplai uang kepada masyaraktnya? Atau sampai kapan masyarakat selalu menuggu guyuran ung dari pemerintah.

Kenapa pemerintah justru tidak mengajarkan cara mendapatkan uanag kepada masyarakatnya? Bukankah hal ini lebih berguna bagi masyarakat? Setidaknya, pemerintah mampu membuka lapangan kerja bagi mereka yang selama ini hidup di bawah garis kemiskinan. Sekali lagi, bukan dengan memberikan uang.

Masalah yang lain, pembagian BLT diyakini tidak akan merata dan menjaangkau seluruh masyarakat miskin di Indonesia. Ditambah lagi, tidak ada pendifinisian yang jelas tentang masyarakat miskin. Apakah mereka yang tidak memiliki rumah atau mereka yang tidak memiliki pekerjaan, atau justru mereka yang makan hanya sekali dalam sehari yang disebut sebagai orang miskin.

Intinya, program BLT yang dilakukan pemerintah bukanlah suatu hal yang tepat. BLT sepertinya hanyalah sebuah program yang dilakukan pemerintah uuntuk mengambil hati masyarakat agar masyarakat tidak bereaksi keras atas kenaikan BBM. Denagan kata lain, pemerintah menjadikan masayarakt miskin sebagai tameng pembenaran akan kenaikan BBM.

Terlepas dari benar tidaknya, sebgai manusia kita memeiliki hak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Diam bukanlah solusi, Karena dalam Diam kita Tertindas.

Atas Nama Rakyat-Kah

Moralitas yang tecabik cabik. Mungkin kata itu yang dapa di tunjukan kepada sekian mahasiswa yang dengan pongahnya menutup jalan lalu meneriakkan ucapan pembelaan atas nama rakyat. Dengam mentamengkan nama rakyat sebagai pembenaran akan aksi yng dilakukannya, sadar atau tidk sadar mereka justru menyusahkan rakyat itu sendiri.

Alih-alih menolong rakyat dengan meneriakkan kesengsaran mereka, mahasiswa justru telah salah dalam melaksanakan aksi. Sebagai mahasiswa yang menggunakn akal nya untuk berfikir, sebenarnya dimana letak pembenaran bahwa di jalan adalah tempat yang tepat untuk melakukan aksi demonstrasi. Bukankah jalan itu justru digunakan oleh masyrakat yang mereka bela.

Parahnya, justru dengan penutupan jalan itu sendiri, maka masyarakatlah yang akan terkena batunya. Perjalanan yang seharusnya mereka tempuh untuk dengn waktu sekitar 30 manit, bisa saja berubah menjadi 1,5 jam. Dengan kata lain, mereka menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk ikut merasakan panas teriknya matahari, ditambah dengan suara mahasiswa yang terdengar tidak jelas karena keluar dari mikrofon kecil yang kemampuan suaranya sangat terbatas.

Perlakuan mahasiswa semakin tidak masuk akal dan terkesan sangat arogan. Terkadang, justru hanya ada sekitar 4-5 orang saja yang kemudian mwnutup jalan yang akan dipakai oleh ribuan orang lainnya. Sungguh sebuah perbandingan yang sangat jauh. 5 orang menyusahkan 1000 an orang. How could it be???

Yang menghawatirkn natinya adalah hilanggnya kepercayaan masyarakat kepada mahasiswa. Bagaimanapun juga, masyarkt adalah manusia biasa. Meskipun kesabaran itu tidk terbatas. Namun manusia tetaplah mamnusia yang memiliki batasan dalam kesehariannya. Mereka yang tidak terima lagi dengan perlakuan mahasiswa yang menutup jalan akan bergerak sendiri dan memaksa mahsiswa untuk tidak melakukan hal itu lagi.

Kalo hal ini terjadi, maka akan ada kesenjangan antara mahasiswa dengan masyarakat. Mahasiswa tidak lagi dipercaya oleh masyarakat sebgai agent of change yang akan mengawal berjalannya pemerintahan. Lunturnya kepercayaan ini tentu saja merupakan langkah mundur atas prestatsi mahaiswa. Dan penyebabnya adalah mahasiswa itu sendiri.
Harus diakui bahwa tidak semua mahasiswa yang melakukan hal-hal tersebut di atas. Tapi ingat, masyarakat terkesan untk mengeneralisasi semuanya. Merek tidak mau tau apa itu mahsiswa tipe ini atau itu mahasiwa tipe itu. Bagi mereka, jika ada mahasiswa yang terbukti melkaukannnya, berarapapun orangnnya mereka tetap mahasiswa.

Untuk itu, kesadarn rekan-rekan mahsiswa dalam memyampaikan apirasinya sangat ditekankan. Sesuatu yang dilakukan baik-baik akan menhagsilkan hal yang baik. Namun sesuatu yang dilakukan dengan tidak baik, pastilah menghasilkan Sesutu yang tidak baik pula.

Jumat, 02 Mei 2008

Dua Mei, Hari Pendidikan Bukan Hari Berdemonstrasi


Banyak hal-hal menarik yang seringkali dilakukan masyarakat Indonesia dalam rangka memperingati hari pendidikan nasional. Selain daripada upacara bendera yang memang telah menjadi sebuah agenda tahunan, ada hal lain yang justru menjurus kearah yang tidak seharusnya dilaksanakan. Dan hal tersebut adalah demonstrasi.

Entah kapan tepatnya fenomena ini terjadi. Namun yang pasti, setiap tanggal 2 Mei, ada yang kurang rasanya jika tidak ada demonstrasi. Baik itu yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai kaum yang menyebut mereka tepelajar, ataupun guru yang merupakan panutan bagi siswanya. Satu yang pasti, semuanya dikarenakan oleh adanya tujuan.

Sebagai mahasiswa, seringkali kita mengidentikkan aksi kita ini sebagai upaya untuk mendesak pemerintah agar menciptakan system pendidikan yang lebih baik. Masalahnya, banyak diantara mahasiswa yang berdemo ini, adalah mereka yang justru malas untuk mengikuti kegiatan pembelajaran sehari-hari. Okelah kalo memang mereka tergolong orang yang cerdas dan tidak menjadikan bangku sekolah sebagai satu-satunya jalan untuk menuntut ilmu.

Tetapi ada saja diantara mereka yang melakukan demonstrasi hanya karena panggilan teman semata dan tampa landasan yang jelas. Mereka inilah yang mungkin dapat digolongkan sebagai, “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”. Lucunya lagi, ada diatara mereka yang tidak mengetahui kenapa 2 Mei dijadikan sebgai hari pendidikan nasional.

Hal ini kemudian semakin diperparah dengan aksi mereka yang seringkali diikuti dengan tindakan-tindakan yang justru bersifat merusak. Seperti membakar ban, merobohkan pagar, bahkan menutup jalan.

Sebagai orang terpelajar, seharusnya kita perlu memahami bahwa, hal tersebut tidaklah menyelesaikan masalah. Bahkan, justru menimbulkan masalah baru bagi orang lain. Kita memang punya hak untuk menyuarakan hati nurani kita. Tapi ingat. Hak kita, dibatasi oleh Hak orang lain. Sehingga, kita juga harus memikirkan orang lain.

Dua Mei seharusnya dijadikan hari untuk merefleksi diri akan pencapaian yang telah kita alami. Seberapa jauh kah kemajuan kita, atau seberapa drastis penurunan yang kita alami. Itu yang seharusnya dilakukan. Bukan, justru berusaha mencari jalan untuk terus dan terus berdemonstrasi. Meskipun harus diakui kalo ada hal-hal tertentu yang memang demonstrasi itu perlu dilakukan.

Seandainya saja KI Hajara Dewantara sendiri sebagai bapak pendidikan masih hidup. Yakin dan percaya, dia pasti tidak akan setuju dengan cara kita yang melakukan demonstrasi sebagai wujud memperingati hari pendidikan nasional. Pasti