This nice Blogger theme is compatible with various major web browsers. You can put a little personal info or a welcome message of your blog here. Go to "Edit HTML" tab to change this text.
RSS

Rabu, 26 November 2008

Menuju Rahmatan Lil alamin

Yang mana rahmat itu???

Senin, 24 November 2008

Atas Nama Rakyat-Kah

Moralitas yang tecabik cabik. Mungkin kata itu yang dapa di tunjukan kepada sekian mahasiswa yang dengan pongahnya menutup jalan lalu meneriakkan ucapan pembelaan atas nama rakyat. Dengam mentamengkan nama rakyat sebagai pembenaran akan aksi yng dilakukannya, sadar atau tidk sadar mereka justru menyusahkan rakyat itu sendiri.

Alih-alih menolong rakyat dengan meneriakkan kesengsaran mereka, mahasiswa justru telah salah dalam melaksanakan aksi. Sebagai mahasiswa yang menggunakn akal nya untuk berfikir, sebenarnya dimana letak pembenaran bahwa di jalan adalah tempat yang tepat untuk melakukan aksi demonstrasi. Bukankah jalan itu justru digunakan oleh masyrakat yang mereka bela.

Parahnya, justru dengan penutupan jalan itu sendiri, maka masyarakatlah yang akan terkena batunya. Perjalanan yang seharusnya mereka tempuh untuk dengn waktu sekitar 30 manit, bisa saja berubah menjadi 1,5 jam. Dengan kata lain, mereka menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk ikut merasakan panas teriknya matahari, ditambah dengan suara mahasiswa yang terdengar tidak jelas karena keluar dari mikrofon kecil yang kemampuan suaranya sangat terbatas.

Perlakuan mahasiswa semakin tidak masuk akal dan terkesan sangat arogan. Terkadang, justru hanya ada sekitar 4-5 orang saja yang kemudian mwnutup jalan yang akan dipakai oleh ribuan orang lainnya. Sungguh sebuah perbandingan yang sangat jauh. 5 orang menyusahkan 1000 an orang. How could it be???

Yang menghawatirkn natinya adalah hilanggnya kepercayaan masyarakat kepada mahasiswa. Bagaimanapun juga, masyarkt adalah manusia biasa. Meskipun kesabaran itu tidk terbatas. Namun manusia tetaplah mamnusia yang memiliki batasan dalam kesehariannya. Mereka yang tidak terima lagi dengan perlakuan mahasiswa yang menutup jalan akan bergerak sendiri dan memaksa mahsiswa untuk tidak melakukan hal itu lagi.

Kalo hal ini terjadi, maka akan ada kesenjangan antara mahasiswa dengan masyarakat. Mahasiswa tidak lagi dipercaya oleh masyarakat sebgai agent of change yang akan mengawal berjalannya pemerintahan. Lunturnya kepercayaan ini tentu saja merupakan langkah mundur atas prestatsi mahaiswa. Dan penyebabnya adalah mahasiswa itu sendiri.
Harus diakui bahwa tidak semua mahasiswa yang melakukan hal-hal tersebut di atas. Tapi ingat, masyarakat terkesan untk mengeneralisasi semuanya. Merek tidak mau tau apa itu mahsiswa tipe ini atau itu mahasiwa tipe itu. Bagi mereka, jika ada mahasiswa yang terbukti melkaukannnya, berarapapun orangnnya mereka tetap mahasiswa.

Untuk itu, kesadarn rekan-rekan mahsiswa dalam memyampaikan apirasinya sangat ditekankan. Sesuatu yang dilakukan baik-baik akan menhagsilkan hal yang baik. Namun sesuatu yang dilakukan dengan tidak baik, pastilah menghasilkan Sesutu yang tidak baik pula.

Minggu, 23 November 2008

Mahasiswa Kritis Aparat Anarkis

Bukan rahasia lagi kalau keberhasilan mahasiswa menggulingkan orde baru di tahun 1998 menjadi tonggak reformasi di bumi pertiwi. Sayangnya, keberhasilan mahasiwa dengan aksi demonstrasi saat itu justru tidak diikuti oleh adik didik mereka saat ini. Justru, demonstrasi mahasiswa kini lebih identik dengan suatu aksi yang ujung-ujungnya justru mempersulit banyak pihak.
 
Satu hal yang seringkali terjadi adalah, dimana ada demonstrasi mahasiswa. Disitu ada sekumpulan aparat yang bertugas  untuk mengawasi jalannya demonstrasi ataupun mencegah terjadi aksi-aksi yang merugikan bagi khalayak ramai. Dan sayangnya, seringkali terjadi gesekan-gesekan yang menyebabkan terjadinya bentrokan anatara kedua kubu.


Kejadian yang terjadi di Makasar, Jakarta dan daerah lain di Indonesia menjadi bukti bagaimana bentrokan itu terjadi. Mahasiswa yang mengaku kritis mendapatkn perlakuan brutal dari Aparat yang menangani maslah dengan anarkis. Penangakapan, perkelahian, Saling lempar, hingga meninggalnya mahasiswa menjadi bukti akan keberingasan tersebut.

Kita memang tidak seharusnya menyalahkan aparat sepenuhnya, tapi itu bukan berarti pula kita limpahkan kesalahan itu kepada para mahasiswa. Idealnya, Baik polisi maupun mahasiswa tidak salah sepenuhnya dan juga tidak benar sepenuhnya. Seharusnya adalah, baik aparat maupun mahasiswa mampu menahan diri dalam bertindak. Bukan menjadikan ajang ini sebagai ajang bertarung bareng-bareng.

Katanya, mahasiswa adalah masyarakat intelektual yang menyuarakan suara masyarakat kecil, dan polisi adalah pelindung masyarakat. Berarti, kedua-duanya adalah bagian dari masyarakat yang berbuat untuk masayarakat. Yang menjadi pertanyaan, apa untungnya bagi masayarakat jika aparat dan mahasiswa bentrok? Apa kemudian hal itu serta merta menurunkan harga BBM, ataupun menolong masyarakat dari permasalahan mereka? Jawabnya tidak-lah.


Masyarakat sudah kenyang dengan dengan segala permasalahan yang dialaminya di negeri tercita ini. Kalo kemudian mahasiwa dan aparat hanya bisa bentrok dan bentrok. Hal itu hanya menambah daftar list masalah yang berkepanjangan yang dimiliki masyarakat. Yang rugi, tentunya semua pihak. Masayarakat sudah pasti. Karena kadangkala mereka harus menutup tokonya secepat mungkin agar tidak mengalami hal yang tidak diinginkan. Sebagaian lagi, harus memutar haluan mencari jalan aman agar tidak terjebak di tengah bentrokan yang tentunya akan memamakan waktu yang lebih lama dari yang seharusnsya.


Bagi mahasiswa dan aparat, sudah pasti degradasi kepercayaan yang datang dari masyarakat akan muncul. Kalo masayarakat sudah tidak lagi percaya kepada masyarakat dan mahasiwa, terus darimana mereka mereka mengharapkan bantuan dan harapan? Apakah dari pemerintah yang terkadang memberikan mereka janji Palsu???

Sabtu, 11 Oktober 2008

Guru Kencing Berdiri, Siswa Kencing Berlari

Edan, mungkin begitu kata yang pantas disematkan kepada pendidikan di negara ini. Wajar, di saat seorang pendidik dituntut untuk mampu menujukkan profesionalisme nya untuk mendidik anak bangsa ini, Justru ada diantara mereka yang justru merupakan benalu dan perusak citra.

Seperti yang tecatum dalam Undang-Undang tentang guru dan Dosen salah satu prinsip profesional yang harus dimiliki seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1 adalah: ”Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas”.Tugas disini pastilah mendidik dan mencerdaskan masyarakat Indonesia. Bukan sebaliknya.

Sejauh ini, tanggapan masyarakat akan imej guru bak bola salju yang terus bergerak dan membesar. Kenapa tidak, banyak oknum guru yang kemudian justru menampakkan sosok seakan dirinya bak bukan seorang guru.

Prinsip profesionalisme yang mengatakan bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugasnya dijadikan sebagi bahan ampuh untuk membentengi diri. Sebahagian menjadi beringas dan seringkali menggunaan kekerasan dalam menghadapi muridnya.

Bukan hanya itu, yang lebih memalukan lagi, ada diantara mereka yang justru melakukan tindakan asusila terhadap murid mereka. Akibatnya, hal ini semakin memperkeruh imej para guru. Meskipun yang melakukan adalah sebagian kecil, namun justru sebagian kecil inilah yang kemudian mencoreng nama guru.

Berikut, penulis lampirkan beberapa kejadian yang terkait dengan perlakuan guru terhadap murid-muridnya:

1. Seorang guru memperkosa murid SD nya (Riauinfo.com)
http://www.riauinfo.com/main/news.php?c=5&id=3029

2. Seorang guru menempeleng siswanya (Suaramerdeka.com)
http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/11/slo21.htm

3. Gara-gara guru demo, murid tidak belajar (Gaulislam.com)
http://www.gaulislam.com/guru-demo-murid-melongo/

4. Guru tendang murid hingga patah tulang (Okezone.com)

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/03/20/1/93400/guru-tendang-murid-hingga-patah-tulang

5. Guru memukul murid SMP (Detiknews.com)
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/05/tgl/02/time/201201/idnews/775432/idkanal/10

6. Guru tampar murid SMU nya (Hariansib.com)
http://hariansib.com/2007/09/08/guru-tampar-murid-diadukan-ke-polres-asahan/

7. Guru tampar murid hingga lecet (Hinamagazine.com)
http://www.hinamagazine.com/index.php/2008/04/12/guru-tampar-murid-kelas-6-hingga-lecet/

Bukti diatas setidaknya dapat menujukkan bagaimana sebenarnya bentuk pendidikan itu. Kalo kita kembalikan pada pepatah yang mengatakan, “ Guru kencing berdiri, Siswa kencing berlari. Maka pertanyaan yang muncul adalah: Kalo gurunya saja sudah seprti itu, bagaimana dengan siswanya nanti?????????

Rabu, 08 Oktober 2008

Katanya, Polisi Pelayan Masyarakat

Satu hal yang sangat menarik perhatian ku adalah sosok polisi. Mereka yang seringkali berdiri disamping jalanan. Mengadakan sweeping lalu menilang karena alasan tidak mematuhi lalu lintas. Atau mereka yang menangkap para penjahat yang dianngap sebagai criminal yang berbahaya dan sepatutnya masuk kedalam penjara.

Hal yang sangat mendalam bagiku adalah slogan yang mengatakan bahwa polisi dalah pelayan masyarakat. Namun aku menganggapnya tak lebih dari sebuah slogan yang tidak sepenuhnya benar. Bukan rahasia lagi kalo untuk berurusan dengan polisi pastilah harus memakan uang. Baik itu kita sebgai orang yang bersalah maupun orang yang tidak bersalah.


Buktinya, disaat kita melakukan kesalahan, kita perlu mengeluarkan uang sebagai penebus akan kesalahan kita. Namun disisi lain, yang lebih mencengangkan lagi adalah disaat kita yang membutuhkan pertolongan. Saat sesesorang melaporkan tentang kehilangan yang dialaminya, maka kita diwajibkan membayar biaya sebesar Rp. 35.000,-. Biaya yang tidak lah murah. Apalagi jika kita kehilangan barang yang seharga sama dengan yang kita harus bayar.


Akibatnya, banyak masyarakat yang kemudian tidak lagi melaporkan kejadian yang menimpanya dikarenakan biaya yang dipatok oleh pihak kepolisian. Padahal seharusnya, tidak perlu ada biaya pelaporan, bukankah polisi sebagai pelayan masyarakat. Ditambah lagi polisi telah memiliki gaji yang pasti tiap bulannya. Jadi buat apa biaya pelaporan tersebut??? Entah masalah


Banyak hal ini menjadikan masyarakat kemudian sangat pobia dengan polisi. Tidak heran jika sering mendengar perkataan orang yang mengatakan; “Jangan sekali-kali berurusan dengan polisi, kecuali jika terpaksa”. Ataupun perkataan orang tua yang berkata kepada anak nya; “Janganlah kamu mencari pasangan hidup yang bekerja sebagai polisi”


Entah apa makna dari perkataan diatas. Namun yang pasti image polisi bagi masyarakat sudah sangatlah buruk. Setidaknya bagi sebagaian orang. Kita memang tidak bisa menjastifikasi bahwa kesemua polisi melakukan hal tersebut. Tapi lihat saja keadaan disekitar disaat polisi melakukan sweeping. Berapa banyak suara sumbang yang menyatakan kalo tujuan sweeping hanyalah untu mendapatkan uang. Toh kenyataa nya kita sering kali melihat tawar menawar biaya tilang antara polisi dengan masyarakat.


Jika memang polisi adalah pelayan masyarakat, kenapa masyarakat harus membayar biaya pengaduan kepada mereka yang seharusnya melayani mereka?? Kalo memang polisi berfungsi sebagai pelayan masyarakat, seharusnya mereka membantu masyarakat tampa pamrih. Bukan menyusahkan mereka dengan jalan mencari-cari alasan untuk dapat menilang mereka. Seharusnya masyarakat merasa aman didekat polisi. Bukan sebaliknya. Seharusnya, seharusnya…

Sabtu, 04 Oktober 2008

BLT Bukan Solusi

Kenaikan harga minyak dunia tak pelak menjadi pemicu masalah di berbagai Negara termasuk Indonesia. Dengan kata lain, untuk kesekian kalinya Negara di bawah pemerintahan SBY-JK menaikkan harga bahan bakar minyak sekitar 20 % sebagai konsekwensi akan kenaikan harga minya dunia. Dan hal ini tentulah akan menjadikan masyarakat semakin bertambah terpuruk dalam lembah masalah.

Sudah bukan rahasia lagi jika harga minyak naik, maka harga-harga barak lainnya akan turut naik pula. Dan yang akan merasakan dampak terhebat dari kenaikan ini dalah masyarakt teptnya mereka yang hidup di bawah standar kemiskinan. Kalo sebelum harganaik saja mereka susah untuk untuk mendaptkan sesuap nasi, bagaimana jika harga naik???

Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pemerintah lalu mengeluarkan kebijakan baru melalui sebuah program BLT atau Bantuan Langsung Tunai. Program ini berupa pemberian uang sebesar 100.000, rupiah bagi setiap keluarga yang terdaftar sebagi masyarakat miskin di negara ini dalam tiap bulannya. Sayangnya, program ini justru dirasakan sebagai bentuk keputu asan pemerintahan dalam menanggulangi kemiskinan.

Ingat dengan perkataan bijak yang mengatakan: “ Janganlah kamu memberikan ikan kepada mereka, tapi ajari mereka cara menangkap ikan. Karena hal itu akan lebih bermanfaat bagi mereka nantinya”

Apa yang dilakukan pemerintah jelas-jelas bertolak belakang dengan perkataan diatas. Memberikan uang kepada masyarakat bukanlah suatu hal yang membanggakan ataupun menolong, tetapi justru sebuah langkah kemunduran. Samapai kapan pemerintah akan mensuplai uang kepada masyaraktnya? Atau sampai kapan masyarakat selalu menuggu guyuran ung dari pemerintah.

Kenapa pemerintah justru tidak mengajarkan cara mendapatkan uanag kepada masyarakatnya? Bukankah hal ini lebih berguna bagi masyarakat? Setidaknya, pemerintah mampu membuka lapangan kerja bagi mereka yang selama ini hidup di bawah garis kemiskinan. Sekali lagi, bukan dengan memberikan uang.

Masalah yang lain, pembagian BLT diyakini tidak akan merata dan menjaangkau seluruh masyarakat miskin di Indonesia. Ditambah lagi, tidak ada pendifinisian yang jelas tentang masyarakat miskin. Apakah mereka yang tidak memiliki rumah atau mereka yang tidak memiliki pekerjaan, atau justru mereka yang makan hanya sekali dalam sehari yang disebut sebagai orang miskin.

Intinya, program BLT yang dilakukan pemerintah bukanlah suatu hal yang tepat. BLT sepertinya hanyalah sebuah program yang dilakukan pemerintah uuntuk mengambil hati masyarakat agar masyarakat tidak bereaksi keras atas kenaikan BBM. Denagan kata lain, pemerintah menjadikan masayarakt miskin sebagai tameng pembenaran akan kenaikan BBM.

Terlepas dari benar tidaknya, sebgai manusia kita memeiliki hak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Diam bukanlah solusi, Karena dalam Diam kita Tertindas.

Minggu, 29 Juni 2008

Guru Kencing Berdiri, Siswa Kencing Berlari

Edan, mungkin begitu kata yang pantas disematkan kepada pendidikan di negara ini. Wajar, di saat seorang pendidik dituntut untuk mampu menujukkan profesionalisme nya untuk mendidik anak bangsa ini, Justru ada diantara mereka yang justru merupakan benalu dan perusak citra.

Seperti yang tecatum dalam Undang-Undang tentang guru dan Dosen salah satu prinsip profesional yang harus dimiliki seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1 adalah: ”Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas”.Tugas disini pastilah mendidik dan mencerdaskan masyarakat Indonesia. Bukan sebaliknya.

Sejauh ini, tanggapan masyarakat akan imej guru bak bola salju yang terus bergerak dan membesar. Kenapa tidak, banyak oknum guru yang kemudian justru menampakkan sosok seakan dirinya bak bukan seorang guru.

Prinsip profesionalisme yang mengatakan bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugasnya dijadikan sebagi bahan ampuh untuk membentengi diri. Sebahagian menjadi beringas dan seringkali menggunaan kekerasan dalam menghadapi muridnya.

Bukan hanya itu, yang lebih memalukan lagi, ada diantara mereka yang justru melakukan tindakan asusila terhadap murid mereka. Akibatnya, hal ini semakin memperkeruh imej para guru. Meskipun yang melakukan adalah sebagian kecil, namun justru sebagian kecil inilah yang kemudian mencoreng nama guru.

Berikut, penulis lampirkan beberapa kejadian yang terkait dengan perlakuan guru terhadap murid-muridnya:

1. Seorang guru memperkosa murid SD nya (Riauinfo.com)
http://www.riauinfo.com/main/news.php?c=5&id=3029

2. Seorang guru menempeleng siswanya (Suaramerdeka.com)
http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/11/slo21.htm

3. Gara-gara guru demo, murid tidak belajar (Gaulislam.com)
http://www.gaulislam.com/guru-demo-murid-melongo/

4. Guru tendang murid hingga patah tulang (Okezone.com)
http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/03/20/1/93400/guru-tendang-murid-hingga-patah-tulang

5. Guru memukul murid SMP (Detiknews.com)
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/05/tgl/02/time/201201/idnews/775432/idkanal/10

6. Guru tampar murid SMU nya (Hariansib.com)
http://hariansib.com/2007/09/08/guru-tampar-murid-diadukan-ke-polres-asahan/

7. Guru tampar murid hingga lecet (Hinamagazine.com)
http://www.hinamagazine.com/index.php/2008/04/12/guru-tampar-murid-kelas-6-hingga-lecet/

Bukti diatas setidaknya dapat menujukkan bagaimana sebenarnya bentuk pendidikan itu. Kalo kita kembalikan pada pepatah yang mengatakan, “ Guru kencing berdiri, Siswa kencing berlari. Maka pertanyaan yang muncul adalah: Kalo gurunya saja sudah seprti itu, bagaimana dengan siswanya nanti?????????

Selasa, 24 Juni 2008

Mahasiswa Kritis Aparat Anarkis

Bukan rahasia lagi kalau keberhasilan mahasiswa menggulingkan orde baru di tahun 1998 menjadi tonggak reformasi di bumi pertiwi. Sayangnya, keberhasilan mahasiwa dengan aksi demonstrasi saat itu justru tidak diikuti oleh adik didik mereka saat ini. Justru, demonstrasi mahasiswa kini lebih identik dengan suatu aksi yang ujung-ujungnya justru mempersulit banyak pihak.
 
Satu hal yang seringkali terjadi adalah, dimana ada demonstrasi mahasiswa. Disitu ada sekumpulan aparat yang bertugas  untuk mengawasi jalannya demonstrasi ataupun mencegah terjadi aksi-aksi yang merugikan bagi khalayak ramai. Dan sayangnya, seringkali terjadi gesekan-gesekan yang menyebabkan terjadinya bentrokan anatara kedua kubu.


Kejadian yang terjadi di Makasar, Jakarta dan daerah lain di Indonesia menjadi bukti bagaimana bentrokan itu terjadi. Mahasiswa yang mengaku kritis mendapatkn perlakuan brutal dari Aparat yang menangani maslah dengan anarkis. Penangakapan, perkelahian, Saling lempar, hingga meninggalnya mahasiswa menjadi bukti akan keberingasan tersebut.

Kita memang tidak seharusnya menyalahkan aparat sepenuhnya, tapi itu bukan berarti pula kita limpahkan kesalahan itu kepada para mahasiswa. Idealnya, Baik polisi maupun mahasiswa tidak salah sepenuhnya dan juga tidak benar sepenuhnya. Seharusnya adalah, baik aparat maupun mahasiswa mampu menahan diri dalam bertindak. Bukan menjadikan ajang ini sebagai ajang bertarung bareng-bareng.

Katanya, mahasiswa adalah masyarakat intelektual yang menyuarakan suara masyarakat kecil, dan polisi adalah pelindung masyarakat. Berarti, kedua-duanya adalah bagian dari masyarakat yang berbuat untuk masayarakat. Yang menjadi pertanyaan, apa untungnya bagi masayarakat jika aparat dan mahasiswa bentrok? Apa kemudian hal itu serta merta menurunkan harga BBM, ataupun menolong masyarakat dari permasalahan mereka? Jawabnya tidak-lah.


Masyarakat sudah kenyang dengan dengan segala permasalahan yang dialaminya di negeri tercita ini. Kalo kemudian mahasiwa dan aparat hanya bisa bentrok dan bentrok. Hal itu hanya menambah daftar list masalah yang berkepanjangan yang dimiliki masyarakat. Yang rugi, tentunya semua pihak. Masayarakat sudah pasti. Karena kadangkala mereka harus menutup tokonya secepat mungkin agar tidak mengalami hal yang tidak diinginkan. Sebagaian lagi, harus memutar haluan mencari jalan aman agar tidak terjebak di tengah bentrokan yang tentunya akan memamakan waktu yang lebih lama dari yang seharusnsya.


Bagi mahasiswa dan aparat, sudah pasti degradasi kepercayaan yang datang dari masyarakat akan muncul. Kalo masayarakat sudah tidak lagi percaya kepada masyarakat dan mahasiwa, terus darimana mereka mereka mengharapkan bantuan dan harapan? Apakah dari pemerintah yang terkadang memberikan mereka janji Palsu???

Sabtu, 31 Mei 2008

BLT Bukan Solusi

Kenaikan harga minyak dunia tak pelak menjadi pemicu masalah di berbagai Negara termasuk Indonesia. Dengan kata lain, untuk kesekian kalinya Negara di bawah pemerintahan SBY-JK menaikkan harga bahan bakar minyak sekitar 20 % sebagai konsekwensi akan kenaikan harga minya dunia. Dan hal ini tentulah akan menjadikan masyarakat semakin bertambah terpuruk dalam lembah masalah.

Sudah bukan rahasia lagi jika harga minyak naik, maka harga-harga barak lainnya akan turut naik pula. Dan yang akan merasakan dampak terhebat dari kenaikan ini dalah masyarakt teptnya mereka yang hidup di bawah standar kemiskinan. Kalo sebelum harganaik saja mereka susah untuk untuk mendaptkan sesuap nasi, bagaimana jika harga naik???

Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pemerintah lalu mengeluarkan kebijakan baru melalui sebuah program BLT atau Bantuan Langsung Tunai. Program ini berupa pemberian uang sebesar 100.000, rupiah bagi setiap keluarga yang terdaftar sebagi masyarakat miskin di negara ini dalam tiap bulannya. Sayangnya, program ini justru dirasakan sebagai bentuk keputu asan pemerintahan dalam menanggulangi kemiskinan.

Ingat dengan perkataan bijak yang mengatakan: “ Janganlah kamu memberikan ikan kepada mereka, tapi ajari mereka cara menangkap ikan. Karena hal itu akan lebih bermanfaat bagi mereka nantinya”

Apa yang dilakukan pemerintah jelas-jelas bertolak belakang dengan perkataan diatas. Memberikan uang kepada masyarakat bukanlah suatu hal yang membanggakan ataupun menolong, tetapi justru sebuah langkah kemunduran. Samapai kapan pemerintah akan mensuplai uang kepada masyaraktnya? Atau sampai kapan masyarakat selalu menuggu guyuran ung dari pemerintah.

Kenapa pemerintah justru tidak mengajarkan cara mendapatkan uanag kepada masyarakatnya? Bukankah hal ini lebih berguna bagi masyarakat? Setidaknya, pemerintah mampu membuka lapangan kerja bagi mereka yang selama ini hidup di bawah garis kemiskinan. Sekali lagi, bukan dengan memberikan uang.

Masalah yang lain, pembagian BLT diyakini tidak akan merata dan menjaangkau seluruh masyarakat miskin di Indonesia. Ditambah lagi, tidak ada pendifinisian yang jelas tentang masyarakat miskin. Apakah mereka yang tidak memiliki rumah atau mereka yang tidak memiliki pekerjaan, atau justru mereka yang makan hanya sekali dalam sehari yang disebut sebagai orang miskin.

Intinya, program BLT yang dilakukan pemerintah bukanlah suatu hal yang tepat. BLT sepertinya hanyalah sebuah program yang dilakukan pemerintah uuntuk mengambil hati masyarakat agar masyarakat tidak bereaksi keras atas kenaikan BBM. Denagan kata lain, pemerintah menjadikan masayarakt miskin sebagai tameng pembenaran akan kenaikan BBM.

Terlepas dari benar tidaknya, sebgai manusia kita memeiliki hak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Diam bukanlah solusi, Karena dalam Diam kita Tertindas.

Atas Nama Rakyat-Kah

Moralitas yang tecabik cabik. Mungkin kata itu yang dapa di tunjukan kepada sekian mahasiswa yang dengan pongahnya menutup jalan lalu meneriakkan ucapan pembelaan atas nama rakyat. Dengam mentamengkan nama rakyat sebagai pembenaran akan aksi yng dilakukannya, sadar atau tidk sadar mereka justru menyusahkan rakyat itu sendiri.

Alih-alih menolong rakyat dengan meneriakkan kesengsaran mereka, mahasiswa justru telah salah dalam melaksanakan aksi. Sebagai mahasiswa yang menggunakn akal nya untuk berfikir, sebenarnya dimana letak pembenaran bahwa di jalan adalah tempat yang tepat untuk melakukan aksi demonstrasi. Bukankah jalan itu justru digunakan oleh masyrakat yang mereka bela.

Parahnya, justru dengan penutupan jalan itu sendiri, maka masyarakatlah yang akan terkena batunya. Perjalanan yang seharusnya mereka tempuh untuk dengn waktu sekitar 30 manit, bisa saja berubah menjadi 1,5 jam. Dengan kata lain, mereka menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk ikut merasakan panas teriknya matahari, ditambah dengan suara mahasiswa yang terdengar tidak jelas karena keluar dari mikrofon kecil yang kemampuan suaranya sangat terbatas.

Perlakuan mahasiswa semakin tidak masuk akal dan terkesan sangat arogan. Terkadang, justru hanya ada sekitar 4-5 orang saja yang kemudian mwnutup jalan yang akan dipakai oleh ribuan orang lainnya. Sungguh sebuah perbandingan yang sangat jauh. 5 orang menyusahkan 1000 an orang. How could it be???

Yang menghawatirkn natinya adalah hilanggnya kepercayaan masyarakat kepada mahasiswa. Bagaimanapun juga, masyarkt adalah manusia biasa. Meskipun kesabaran itu tidk terbatas. Namun manusia tetaplah mamnusia yang memiliki batasan dalam kesehariannya. Mereka yang tidak terima lagi dengan perlakuan mahasiswa yang menutup jalan akan bergerak sendiri dan memaksa mahsiswa untuk tidak melakukan hal itu lagi.

Kalo hal ini terjadi, maka akan ada kesenjangan antara mahasiswa dengan masyarakat. Mahasiswa tidak lagi dipercaya oleh masyarakat sebgai agent of change yang akan mengawal berjalannya pemerintahan. Lunturnya kepercayaan ini tentu saja merupakan langkah mundur atas prestatsi mahaiswa. Dan penyebabnya adalah mahasiswa itu sendiri.
Harus diakui bahwa tidak semua mahasiswa yang melakukan hal-hal tersebut di atas. Tapi ingat, masyarakat terkesan untk mengeneralisasi semuanya. Merek tidak mau tau apa itu mahsiswa tipe ini atau itu mahasiwa tipe itu. Bagi mereka, jika ada mahasiswa yang terbukti melkaukannnya, berarapapun orangnnya mereka tetap mahasiswa.

Untuk itu, kesadarn rekan-rekan mahsiswa dalam memyampaikan apirasinya sangat ditekankan. Sesuatu yang dilakukan baik-baik akan menhagsilkan hal yang baik. Namun sesuatu yang dilakukan dengan tidak baik, pastilah menghasilkan Sesutu yang tidak baik pula.

Jumat, 02 Mei 2008

Dua Mei, Hari Pendidikan Bukan Hari Berdemonstrasi


Banyak hal-hal menarik yang seringkali dilakukan masyarakat Indonesia dalam rangka memperingati hari pendidikan nasional. Selain daripada upacara bendera yang memang telah menjadi sebuah agenda tahunan, ada hal lain yang justru menjurus kearah yang tidak seharusnya dilaksanakan. Dan hal tersebut adalah demonstrasi.

Entah kapan tepatnya fenomena ini terjadi. Namun yang pasti, setiap tanggal 2 Mei, ada yang kurang rasanya jika tidak ada demonstrasi. Baik itu yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai kaum yang menyebut mereka tepelajar, ataupun guru yang merupakan panutan bagi siswanya. Satu yang pasti, semuanya dikarenakan oleh adanya tujuan.

Sebagai mahasiswa, seringkali kita mengidentikkan aksi kita ini sebagai upaya untuk mendesak pemerintah agar menciptakan system pendidikan yang lebih baik. Masalahnya, banyak diantara mahasiswa yang berdemo ini, adalah mereka yang justru malas untuk mengikuti kegiatan pembelajaran sehari-hari. Okelah kalo memang mereka tergolong orang yang cerdas dan tidak menjadikan bangku sekolah sebagai satu-satunya jalan untuk menuntut ilmu.

Tetapi ada saja diantara mereka yang melakukan demonstrasi hanya karena panggilan teman semata dan tampa landasan yang jelas. Mereka inilah yang mungkin dapat digolongkan sebagai, “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”. Lucunya lagi, ada diatara mereka yang tidak mengetahui kenapa 2 Mei dijadikan sebgai hari pendidikan nasional.

Hal ini kemudian semakin diperparah dengan aksi mereka yang seringkali diikuti dengan tindakan-tindakan yang justru bersifat merusak. Seperti membakar ban, merobohkan pagar, bahkan menutup jalan.

Sebagai orang terpelajar, seharusnya kita perlu memahami bahwa, hal tersebut tidaklah menyelesaikan masalah. Bahkan, justru menimbulkan masalah baru bagi orang lain. Kita memang punya hak untuk menyuarakan hati nurani kita. Tapi ingat. Hak kita, dibatasi oleh Hak orang lain. Sehingga, kita juga harus memikirkan orang lain.

Dua Mei seharusnya dijadikan hari untuk merefleksi diri akan pencapaian yang telah kita alami. Seberapa jauh kah kemajuan kita, atau seberapa drastis penurunan yang kita alami. Itu yang seharusnya dilakukan. Bukan, justru berusaha mencari jalan untuk terus dan terus berdemonstrasi. Meskipun harus diakui kalo ada hal-hal tertentu yang memang demonstrasi itu perlu dilakukan.

Seandainya saja KI Hajara Dewantara sendiri sebagai bapak pendidikan masih hidup. Yakin dan percaya, dia pasti tidak akan setuju dengan cara kita yang melakukan demonstrasi sebagai wujud memperingati hari pendidikan nasional. Pasti